
Budaya Kerja Ekstrem di Korea Selatan – Korea Selatan di kenal sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Dalam waktu beberapa dekade, negara ini telah menjelma menjadi pusat teknologi, budaya pop, dan industri global yang di perhitungkan. Namun, di balik kemajuan luar biasa tersebut, terdapat budaya kerja yang sangat ketat dan bahkan dianggap ekstrem. Budaya kerja ini sering kali menuntut pengorbanan besar dari para pekerja, tidak hanya dalam bentuk waktu, tetapi juga kesehatan fisik dan mental.
Berikut ini akan mengulas bagaimana budaya kerja ekstrem di Korea Selatan terbentuk, dampaknya terhadap masyarakat, seta bagaimana pemerintah dan perusahaan mulai mencari slosusi untuk menciptakan keseimbangan antara produktivitas dan kesehatan mental.
Akar Budaya Kerja Ekstrem
Budaya kerja keras di Korea Selatan berakar dari sejarah panjang perjuangan ekonomi setelah Perang Korea (1950-1953). Negara ini mengalami kemiskinan ekstrem dan keterbelakangan, yang kemudian menjadi pemicu gerakan pembangunan nasional yang masif. Pemerintah dan sektor swasta mendorong semangat kerja keras sebagai pilar utama pembangunan ekonomi. Konsep “ppalli-ppalli” atau “cepat-cepat” menjadi identitas bangsa, mencerminkan semangat efisiensi dan kecepatan dalam segala aspek kehidupan, termasuk pekerjaan.
Semangat kolektif dan loyalitas kepada perusahaan juga sangat kuat. Di masa lalu, pekerja merasa banga jika mengorbankan waktu pribadi demi perusahaan. Lembur di anggap sebagai bentuk pengabdian dan dedikasi, bukan sesuatu yang harus di hindari. Budaya ini terus berkembang hingga saat ini, meski dampak negatifnya mulai di rasakan secara luas.
Baca Juga: Potret Kehidupan Sehari-hari Warga Korea Utara yang Jarang Terungkap
Jam Kerja yang Panjang
Salah satu indikator dari budaya kerja ekstrem di Korea Selatan adalah jam kerja yang panjang. Meski pemerintah telah menetapkan batas maksimal 52 jam kerja per minggu (termasuk lembur), banyak perusahaan – terutama di sektor teknologi, keuangan, dan industri kreatif – masih menerapkan jam kerja yang melebihi ketentuan ini. Banyak pekerja yang masuk kantor pagi hari dan baru pulang larut malam, bahkan pada akhir pekan pun masih membawa pekerjaan ke rumah.
Dampak pada Kesehatan Mental
Budaya kerja ekstrem ini membawa dampak serius terhadap kesehatan mental masyarakat Korea Selatan. Tingkat stres, kelelahan kronis (burnout), dan depresi sangat tinggi di kalangan pekerja. Korea Selatan juga memiliki salah satu angka bunuh diri tertinggi di antara negara-negara maju, dan tekanan dari dunia kerja sering disebut sebagai salah satu pemicunya.
Para pekerja muda, termasuk karyawan startup dan pekerja kantoran, mengaku merasa “terperangkap” dalam rutinitas kerja tanpa akhir. Rasa takut kehilangan pekerjaan, persaingan yang ketat, serta tekanan dari atasan membuat banyak orang merasa sulit untuk mengambil cuti atau mengeluh.
Upaya Perubahan dan Reformasi
Pemerintah Korea Selatan menyadari bahwa budaya kerja ekstrem ini sudah tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman, terutama dalam hal keseimbangan hidup dan produktivitas jangka panjang. Sejak tahun 2018, pemerintah memperkenalkan kebijakan untuk memangkas jam kerja maksimum dari 68 jam menjadi 52 jam per minggu. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan mendukung kehidupan keluarga.
Beberapa perusahaan teknologi besar seperti Samsung dan LG juga mulai menerapkan kebijakan kerja fleksibel, termasuk jam kerja yang dapat disesuaikan dan opsi bekerja dari rumah (WFH), terutama setelah pandemi COVID-19. Budaya perusahaan juga mulai bergeser dengan lebih banyak diskusi mengenai kesejahteraan karyawan, burnout, dan pentingnya waktu pribadi.
Di kalangan anak muda, kesadaran akan pentingnya kesehatan mental juga semakin meningkat. Banyak yang mulai mempertimbangkan gaya hidup “slot life” dan memilih pekerjaan yang lebih memberikan ruang untuk berkembang secara personal.